Kritik atas Konsep Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah Pada UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Kritik atas Konsep Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah
 Pada UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Zulfikri Armada, S.IP

            Pada rapat kabinet terbatas Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk mengkaji kembali konsep pembagian urusan pemerintahan yang diatur pada UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Bapak Presiden berpendapat bahwa pengaturan yang ada pada saat ini terkesan memangkas kewenangan daerah dalam berotonomi, dan hal ini kontra produktif dengan semangat politik desentralisasi dan otonomi daerah sebagai strategi yang dipakai oleh NKRI untuk mencapai tujuan bernegera sebagaimana yang diamanatkan pada Alenia ke-4 pembukaan UUD 1945.
           
Konsep Negara Kesatuan yang Desentralistik
            Dari pasal 18 UUD 1945 sesudah diamandemen bahwa Republik Indonesiaxd adalah Negara Kesatuan yang Desentralistik. Kita dapat menyatakan bahwa Negara Kesatuan (Unitary State) adalah bentuk negara yang paling kukuh jika dibandingkan dengan Negara Federasi atau Konfederasi, karena didalam negara kesatuan terdapat persatuan (union) dalam bentuk kemufakatan membentuk satu Negara-Bangsa maupun kesatuan (unity) dalam bentuk kemufakatan puivoir constituent (Kewenangan Membentuk UUD) hanya ada pada Pemerintah Pusat.

Selanjutnya, dari ketentuan dari pasal  18 UUD 1945 secara lengkap beserta penjelasannya maka dapatlah ditarik kesimpulan tentang konsep NKRI:
1.    NKRI dibagi kedalam daerah-daerah, baik daerah yang bersifat otonom maupun bersifat administratif;
2.    Daerah-Daerah itu mempunyai pemerintahan;
3. Pembagian wilayah seperti termaksud diatas, dan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan atau atas kuasa Undang-Undang;
4.    Dalam Pembentukan daerah-daerah itu, terutama  daerah-daerah otonom dalam menentukan susunan pemerintahannya harus diingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa (asli).

Oleh karena itu jelaslah bahwa urusan-urusan pemerintahan pada suatu Negara Kesatuan yang desentralisitikpun tetaplah suatu kebulatan, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurusus rumah tangganya sendiri dengan pengawasan dari pemerintah pusat. Dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya itu merupakan pembagian/pelimpahan dari Pemerintah Pusat.


Sistem Rumah Tangga Daerah
            Otonomi Daerah jamak ditafsirkan sebagai kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Implikasi dari kewenangan mengatur, Pemerintah Daerah (Pemda) dapat membentuk Peraturan Daerah (Perda) sendiri sesuai dengan Tata Urutan Peraturan Perundangan-Undangan yang berlaku, kemudian implikasi dari kewenangan mengurus, Pemerintah Pusat memberikan kekuasaan kepada Pemda untuk menyelenggarakan urusan-urusan tertentu. Urusan-urusan yang diselenggarakan tersebut adalah urusan rumah tangga daerah atau disebut dengan isi otonomi daerah. Cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan disebut dengan Sistem Rumah Tangga Daerah. Sitem Rumah Tangga Daerah secara sistem, prinsip, faham, pengertian dan ajaran dibagi menjadi 4 (empat) kelompok:
1)    Sistem Residu (Teori sisa);
2)    Sistem Material;
3)    Sistem Formal;
4)    Sistem Otonomi Riil dan Seluas-luasnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah Sistem rumah tangga mana yang digunakan oleh Indonesia? Kita dapat merujuk pasal 18 ayat (5) UUD 1945 “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah”. Oleh karena itu sejalan dengan pemikiran Bapak Presiden Jokowi, bahwa seyogyanya NKRI konsisten menganut Sistem Rumah Tangga Otonomi Riil dan Seluas-Luasnya, sebagaimana yang pernah kita anut pada UU No.1 Tahun 1957, UU No.18 Tahun 1965, UU No.22 Tahun 1999, dan UU No.32 Tahun 2004.

Kita menyadari bahwa UU No.23 Tahun 2014 merupakan sebuah produk hukum yang sangat baik, yang lahir dari keluhuran berfikir untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan praktek penyelenggaran Otonomi Daerah 10 Tahun terakhir, banyak isu-isu strategis yang sangat baik dimunculkan oleh Undang-Undang ini seperti pengaturan tentang inovasi daerah, design besar penataan daerah, penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, dsb. Namun terjadi sebuah anomali dalam hal penataan urusan pemerintahan antara Pemeritah Pusat dan Daerah, UU No.23 Tahun 2014 menggunakan pendekatan Sistem Rumah Tangga Materiel, dimana tugas-tugas Pemerintah Daerah pada setiap tingkatan struktur pemerintahan ditetapkan secara satu-persatu secara limitatif dan rinci dalam suatu Undang-Undang. Ada beberapa argumen mengapa pada dasarnya Indonesia kurang cocok dengan sistem ini. Pertama, cara ini tampaknya kurang fleksibel sebab setiap perubahan tugas dan wewenang daerah baik penambahan maupun pengurangan, harus dilakukan dengan prosedur yang tidak sederhana. Kedua, Sistem materiel ini akan banyak mengundang spanning hubungan antara Pusat dan Daerah, kita dapat melihat perkembangan saat ini banyak Kepala Daerah yang menggugat UU ini di Mahkamah Konstusi. Ketiga, sistem materiel akan berpotensi menghambat perkembangan otonomi daerah, karena sangat tergantung pada Pemerintah Pusat.

Kita menyadari bahwa urusan otonomi daerah tidaklah statis, tetapi berkembang dan berubah. Oleh karena itu sesuai dengan amanat konstitusi, bahwa otonomi itu harus riil/nyata, dalam artian pemberian otonomi kepada daerah harus didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan dan tindakan atau kebijakan yang benar-benar dapat menjamin Daerah yang bersangkutan nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri, semisal Ibu Walikota Surabaya (Tri Rismaharini) secara faktual mampu dengan baik mengurus urusan pemerintah bidang pendidikan dasar hingga menengah maka kurang tepat juga kiranya jika kewenangan penyelenggaraan urusan tersebut tiba-tiba ditarik ke Pemerintah Provinsi.

Namun yang perlu diingat bahwa pemberian otonomi kepada Daerah harus mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan (doelmatigheid). Atas dasar itu maka yang dimaksud dengan pemberian otonomi seluas-luasnya bukan berarti Daerah bisa semaunya sendiri. Keluasan itu ditentukan oleh pertimbangan dayaguna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu pada titik ini kita harus  menyadari oleh karena kedinamisan otonomi tersebut  ia tidak hanya saja dapat diperluas tetapi dapat pula dipersempit berdasarkan pertimbangan daya guna dan hasil guna tersebut. Bahkan lebih lanjut lagi bahkan otonomi itu dapat dicabut atau dihapus pada satu daerah yang benar-benar gagal dan tidak mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah sejatinya harus dapat diarahkan kepada 2 (dua) hal pokok yaitu memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Mengakselerasi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan Rakyat. Oleh karena itu direktif Bapak Presiden Jokowi sejatinya adalah sebuah pemikiran dengan visi kedepan, dengan memenuhi kaidah landasan teoritik, historis dan yuridif, yang mesti diterjemahkan dalam peraturan (revisi terbatas UU No.23 Tahun 2014) guna mempercepat pencapaian Program Nawacita.

 












0 comments: